Lebih Baik Berbeda Dengan Masyarakat Daripada Berbeda Dengan Nabi
LEBIH BAIK BERBEDA DENGAN MASYARAKAT DARIPADA BERBEDA DENGAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc
Hidup di masa-masa yang jauh dari kenabian, akan membuat orang bisa jauh dari petunjuk-petunjuk dan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, perlahan-lahan, ajaran-ajaran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan sebaik-baik petunjuk dimarjinalkan dari amaliah sehari-hari umat. Petunjuk-petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pasti mengantarkan manusia menuju cinta Allâh Azza wa Jalla kalah pamor dengan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat.
Pendek kata, yang benar dipandang buruk dan tercela serta pantas dimusuhi dan orang yang mengamalkannya patut dicurigai sebagai penganut ajaran sesat. Sedangkan perkara-perkara yang merupakan keburukan dan kemungkaran dalam perspektif syariat menjadi kebiasaan dan kebenaran yang mesti diamini oleh segenap anggota masyarakat. Bila ada yang coba mengkritisi, vonis sesat akan segera tersemat pada orang tersebut. Inilah dampak belum tersebarnya ilmu yang shahih di tengah masyarakat. Ilmu yang berstandar pada qâlallâhu wa qâla rasûluhu. Sementara yang berkembang di sebagian masyarakat, amalan mereka bersumber pada qiila wa qaala (katanya), ra`yu (pendapat orang) atau istihsân (anggapan baik dari individu tertentu).
Maka, tidak mengherankan bila orang yang berpegang-teguh dengan ajaran Islam akan merasa terasing meski di kampung halamannya sendiri, dikarenakan ia berpenampilan beda dari kebanyakan orang, memiliki aqidah (keyakinan) yang agak lain daripada yang lain dan mengamalkan amaliah-amaliah ibadah yang tidak biasa dikerjakan oleh lingkungan sekitar.
Orang yang teguh di atas ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bahkan dianggap mengimpor pemahaman dari luar negeri, sehingga dikategorikan sebagai pemikiran transnasional, meskipun hal tersebut tertuang dalam buku-buku hadits dan kitab-kitab Ulama Islam yang mu’tabar.
HIDUP TERASING SAAT KOMITMEN DENGAN PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa keadaan terasing pun akan kembali dialami oleh orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam di masa mendatang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam bermula dengan terasing, dan akan kembali sebagaimana bermula dalam keadaan terasing. Maka, kemuliaan bagi orang-orang yang terasing”. [HR. Muslim no.232].
Tidak itu saja, cobaan demi cobaan akan dihadapi orang-orang yang terasing itu. Cobaan-cobaan berat yang terlukis dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الْقَابِضُ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
Akan tiba suatu masa pada manusia, orang yang memegangi ajaran agamanya, layaknya orang yang menggenggam bara api [HR. At-Tirmidzi. Hadits shahih. Lihat Shahîh al-Jâmi’ no.8002].
Hadits mulia ini memuat dua perkara: (1) berita dan (2) arahan.
Berita yang dimaksud adalah berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menurunnya kebaikan dan faktor-faktor penyebabnya dan semakin banyaknya keburukan dan faktor-faktor pendukungnya.
Pada masa itu, orang yang mutamassik (komitmen) dengan ajaran Islam berjumlah sangat sedikit di tengah masyarakat. Dan jumlah yang sedikit ini akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang berat, layaknya orang yang memegangi bara api, lantaran begitu dahsyatnya penolakan orang-orang yang menentang, banyaknya fitnah yang menyesatkan, kerasnya terjangan syubhat-syubhat, menggilanya godaan-godaan syahwat, gencarnya usaha pendangkalan aqidah dan kecenderungan manusia kepada dunia serta beratnya hidup dalam kesendirian karena tidak ada yang mendukung dan menolong.
Akan tetapi, orang yang komitmen kuat dengan agamanya dalam situasi demikian, yang bertahan diri dengan menghadapi penentangan dan berbagai rintangan, mereka adalah sebaik-baik manusia dan orang-orang yang berderajat paling tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla . Mereka adalah insan-insan yang berbashirah dan memiliki keyakinan kuat. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai keimanan yang teguh.
Sedangkan terkait kandungan kedua dari hadits di atas, yaitu arahan, sesungguhnya hadits tersebut mengarahkan umat agar melatih diri untuk menghadapi keadaan tersebut, menyadari bahwa keadaan tersebut pasti akan terjadi dan orang yang menghadapi rintangan-rintangan tersebut dan tetap bersabar di atas agama dan imannya mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla akan menolong dan membantunya untuk melakukan apa yang Allâh cintai dan ridhai. Karena sesungguhnya pertolongan akan datang sesuai dengan tingkat cobaan.
Melihat realita yang ada di masa sekarang, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Betapa miripnya zaman kita dengan keadaan yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [1]
Di masa sekarang, seseorang yang komitmen dengan ajaran Islam dilabeli dengan label aliran sesat atau ajarannya keras, radikal, bahkan disematkan label teroris juga. Dakwahnya dituduh sebagai biang pemecah-belah umat. Terkadang harus mengalami pengusiran, menghadapi demo masyarakat yang telah terhasut provokasi murahan.
BELAJAR DARI PENGALAMAN IMAM SYATHIBI RAHIMAHULLAH
Menengok sejarah hidup Ulama dalam menyikapi problematika dakwah dan keteguhan di atas Sunnah sangat penting. Seseorang akan mendapatkan pelajaran berharga dari kesabaran dan keteguhan Ulama saat mengamalkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendakwahkannya dan menghadapi tuduhan dan cibiran dari pihak lain. Ia akan berkesimpulan bahwa harus bersabar dan bertahan di atas jalan istiqomah, tidak ada pilihan lain.
Imam Syâthibi yang bernama asli Ibrâhîm bin Mûsâ al-Ghirnâthi asy-Syâthibi salah satu sosok teladan yang pantas menjadi inspirasi bagi umat Islam dalam masalah ini. Beliau seorang Ulama dari negeri Granada yang dahulu masuk ke wilayah kekuasaan kaum Muslimin melalui tangan Thâriq bin Ziyâd pada tahun 92 H. Lahir pada tahun 720 H dan wafat tahun 790 H. Dalam kurun waktu 70 tahun tersebut, beliau habiskan untuk thalabil ilmi, menyebarkan al-haq, menghidupkan Sunnah dan memadamkan bid’ah. Beliau t telah mewariskan kitab-kitab penting, di antaranya, al-I’tishâm dan al-Muwafaqât.
Dalam muqaddimah kitab al-I’tishâm, Imam Syathibi rahimahullah mengisahkan tentang perjalanan hidupnya untuk dijadikan inspirasi dan cermin agar orang selalu bertahan dan bersabar di atas jalan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,tanpa perlu mempedulikan omongan ahli bid’ah, “Allâh Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepadaku dan melapangkan dadaku untuk memahami makna-makna syariah, sesuatu yang di luar dugaanku dan telah menghunjamkan pada diriku bashirah bahwa Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya tidak meninggalkan celah bagi orang untuk berbicara tentang jalan hidayah dan tidak memberikan peluang yang berarti di luar al-Qur`ân dan Sunnah untuk memperoleh hidayah, dan agama ini telah sempurna, kebahagiaan puncak terakhir melalui jalan yang digariskan, jalan menuju Allâh Azza wa Jalla dalam apa yang disyariatkan, selain itu hanyalah kesesatan, dusta, bohong dan kerugian, dan orang yang memegangi keduanya dengan dua tangannya telah berpegang teguh dengan tali yang kuat dan memperoleh segala kebaikan dunia dan akhirat. Selain keduanya, hanyalah impian-impian kosong, khayalan belaka dan bayangan-bayangan saja.
Dan telah tegak kebenaran hal tersebut bagiku dengan sebuah bukti kebenaran yang tidak ada syubhat sedikit pun yang mengitarinya. Yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
ذَٰلِكَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri(-Nya)” [Yûsuf/12:38]
Segala puji dan syukur bagi Allâh sebanyak-banyaknya.
Dari situ, aku kondisikan diriku untuk berjalan pada jalan hidayah sesuai yang Allâh Azza wa Jalla mudahkan bagiku. Aku mulai dengan pokok-pokok agama untuk aku amalkan dan yakini dan kemudian dengan cabang-cabangnya yang berlandaskan pokok-pokok agama tersebut. Dalam proses tersebut, menjadi jelas bagiku apa yang termasuk sunnah dan apa yang termasuk bid’ah, sebagaimana menjadi jelas bagiku hal-hal yang boleh dan tidak boleh. Hal tersebut aku timbang dengan ilmu tentang pokok-pokok agama dan kaedah-kaedah fikih. Selanjutnya, aku tuntut diriku untuk berjalan bersama Jamaah yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istilah sawâdul a’zham tentang karakter yang dipegangi oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum dan meninggalkan bid’ah yang telah dinyatakan oleh Ulama sebagai bid’ah yang sesat dan amalan yang dibuat-buat.
Pada saat-saat itu, aku masih ikut serta dalam aktifitas orang-orang pada umumnya, dengan menyampaikan khutbah dan menjadi imam shalat dan aktifitas keagamaan lainnya. Ketika aku ingin istiqomah di atas jalan ini, aku dapati diriku tampak terasing di tengah manusia pada waktu itu, lantaran jalan hidup mereka telah didominasi oleh adat-adat tertentu dan endapan-endapan bid’ah telah mengintervensinya.
Pikiranku maju-mundur, antara mengikuti Sunnah dengan resiko menyelisihi kebiasaan manusia, sehingga pasti akan muncul respon buruk sebagaimana dahulu terjadi terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan adat-istiadat, apalagi bila para pemegang adat-istiadat tersebut mengklaim apa yang mereka lakukan adalah Sunnah, sementara yang lain bukan, hanya saja, di balik kesulitan dan beban berat tersebut ada pahala besar, ataukah aku harus mengikuti mereka, maka akibatnya aku menyelisihi Sunnah dan generasi Salafus Shaleh, sehingga nantinya aku masuk ke dalam rangkaian biografi orang-orang yang sesat – aku berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari hal itu – , aku pun mengikuti budaya yang berlaku, dan dianggap sebagai orang yang membaur dengan mereka, bukan orang yang menyelisihi mereka?!.
Namun, aku melihat bahwa adanya kesulitan akibat mengikuti Sunnah adalah keselamatan, dan orang-orang tidak akan dapat menyelamatkan aku sedikit pun dari siksa Allâh.
Maka, aku pun perlahan-lahan berjalan dalam prinsip itu dalam sebagian urusan, sehingga akhirnya ‘Kiamat’ harus aku hadapi, celaan datang kepadaku dengan bertubi-tubi, cercaan mengarah panahnya kepadaku, dan aku pun dituduh berbuat bid’ah, sesat, dan aku pun dipandang orang dungu dan bodoh.
Kadang-kadang mereka menjelek-jelekkan sudut pandangku dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati.
Aku pernah dituduh mengatakan doa itu tidak berguna dan tidak ada manfaatnya sama sekali, karena aku tidak selalu berdoa secara bersama-sama setelah shalat lima waktu ketika aku menjadi imam.
Terkadang aku dianggap beraliran keras dan berlebihan dalam mempraktekkan agama, karena berpegangan dengan pendapat yang masyhur dalam madzhab yang dipegangi. Sementara orang-orang menginginkan pendapat yang mudah bagi penanya dan sesuai dengan keinginannya, walaupun merupakan pendapat yang syaadz dalam madzhab yang dipegangi, apalagi para Imam tidak seperti itu.
Dalam kesempatan lain, tuduhan membenci para wali Allâh juga terarah kepadaku. Sebabnya, aku tidak menyukai sebagian orang-orang fakir yang berbuat bid’ah, dan tidak sejalan dengan sunnah, yang mengaku-aku dapat memberi hidayah manusia. Aku katakan kepada orang-orang tentang keadaan mereka ini yang mengaku sebagai orang-orang Sufi.
Aku juga tertuduh bertentangan dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah, dikarenakan makna Jamaah yang harus diikuti menurut mereka adalah kebiasaan yang dilakukan masyarakat pada umumnya, dan jamaah yang ada di setiap masa, walaupun bertentangan dengan Salafus Shaleh. Mereka tidak tahu bahwa maksud Jamaah adalah mengikuti apa yang dipegangi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Mereka telah berbohong tentang aku dalam semua tuduhan tersebut atau hanya mengira-ngira saja. Dan segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla dalam setiap keadaan”.[2]
Itulah ungkapan yang mengindikasikan keteguhan sang imam di atas Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan siap menghadapi resiko dari masyarakatnya Dan silahkan perhatikan ungkapan hati Imam Syathibi t di atas, betul-betul sangat mirip dengan apa yang terjadi belakangan ini. Orang-orang dituduh sesat, stigma-stigma buruk dilontarkan kepada mereka, tanpa ada alasan dan kesalahan selain karena orang-orang tersebut sadar betapa pentingnya hidup ber-Islam dengan petunjuk Sunnah dan kemauan kuat mereka untuk menjalankannya. Itu saja!. Sekali lagi, seolah-oleh beliau bicara tentang orang-orang yang komitmen dengan Sunnah yang mengalami gangguan dari pihak lain sekarang ini.
Dan poin yang juga mesti dipetik dari nasehat beliau di atas adalah lisannya tetap memuji Allâh Azza wa Jalla dan dikuatkan dengan pernyataan beliau di bawah ini, “Setelah pengingkaran terhadapku terjadi, karena hidayah yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadaku, wa lahul hamd, aku tetap mencari-cari perkara-perkara bid’ah yang telah disinggung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau peringatkan umat darinya serta menjelaskannya sebagai bid’ah dan keluar dari jalan yang lurus, dan telah diisyaratkan oleh Ulama untuk mendeteksi dan mengenalkan sebagian darinya, agar aku hindari sebisa mungkin. Dan aku mencari sunnah-sunnah yang cahayanya hampir-hampir dipadamkan oleh bid’ah-bid’ah. Semoga aku bisa menampakkannnya dengan mengamalkannya dan aku pun kelak terhitung menjadi orang yang menghidupkannya pada Hari Kiamat, sebab tidaklah ada suatu bid’ah kecuali lenyaplah sunnah sebagai akibatnya”[3].
PETUNJUK SYAIKH AS-SA’DI RAHIMAHULLAH DALAM MENGHADAPI PENENTANG DAKWAH
Seorang Mukmin tidak putus asa saat berada dalam keadaaan demikian dari rahmat Allâh Azza wa Jalla . Pandangannya tidak boleh hanya terpaku pada faktor-faktor yang zhahir saja, akan tetapi hatinya harus kembali kepada Allâh al-Karîmul Wahhâb yang akan mendatangkan kemudahan setelah kesulitan.
Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah telah menerangkan langkah-langkah yang diambil seorang Mukmin yang menghadapi berbagai rintangan dalam menjalankan Islam yang benar dan mendakwahkannya. Beliau rahimahullah mengatakan, “Seorang Mukmin dalam kondisi-kondisi demikian adalah orang yang senantiasa mengucapkan lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh, hasbunallâh wa ni’mal wakîl, ‘alallâhi tawakkalnâ (hanya kepada Allâh kami bertawakkal), Allâhumma lakal hamdu, wa ilaikal musytâ, wa antal musta’ân, wa bikal mustaghâts (ya Allâh, bagi-Mu segala puji, dan kepada-Mulah disampaikan keluh-kesah, Engkaulah tempat kami meminta pertolongan, dan bersama Engkaulah segala bantuan), wa lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil azhâm. (Setelah itu) ia melakukan segala sesuatu yang mampu ia perbuat dalam keimanan, menasehati dan berdakwah. Bila belum bisa melakukan perubahan yang besar, perbaikan sekecil apapun ia syukuri. Demikian pula (disyukuri) hilangnya sebagian keburukan atau berkurangnya tingkatan keburukan, bila belum memungkinkan keburukan itu sirna semua.” [4]
Kemudian beliau rahimahullah mengutip firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Barang siapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. [ath-Thalâq/65:2]
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Barang siapa yang bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupi (keperluan)nya. [ath-Thalâq/65:3]
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Allâh menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. [ath-Thalâq/65:4]
Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan urusan para penyeru umat kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberikan hidayah kepada umat Islam untuk mencintai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkan dan mengamalkannya. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Bahjatu Qulûbi al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûnil Akhyâr fî Syarhi Jamâwi’ Akhbâr hlm. 213.
[2] Al-I’tishâm 1/13-22 dengan diringkas.
[3] Al- I’tishâm 1/24.
[4] Bahjatu Qulûbi al-Abrâr wa Qurratu ‘Uyûnil Akhyâr fî Syarhi Jamâwi’ Akhbâr hlm. 214.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9581-lebih-baik-berbeda-dengan-masyarakat-daripada-berbeda-dengan-nabi.html